29 Agustus 2016

author photo
Bersiaplah mendapat informasi yang mencengangkan, bahwa ternyata angka bunuh diri dengan cara gantung diri di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta cukup tinggi. Fenomena bunuh diri di kabupaten ini, nggak terlepas dari fenomena yang dipercaya masyarakat sekitar. Yakni, masih berkaitan erat dengan kemunculan mahkluk mitos yang diberi nama pulung gantung . Makhluk apa sih itu dan sebanyak apa kasus bunuh diri disana? Yuk simak disini!


Kamu sudah cukup kaget belum kalau ternyata D.I Yogyakarta yang nampak begitu bersahaja merupakan salah satu sentra kasus bunuh diri terbesar di Indonesia? Dan Gunungkidul sebagai semacam episentrumnya


Ada sebuah mitos (terserah mau percaya apa enggak, namanya juga mitos), bahwa yang melakukan bunuh diri di Gunungkidul hanyalah orang-orang yang kelahiran (asli) Gunungkidul. Artinya, anak-cucu orang-orang pribumi Gunungkidul. Meski demikian, konon jika yang bersangkutan sudah keluar dari Gunungkidul (hidup di daerah lain), kecil kemungkinannya untuk melakukan perbuatan tersebut.

Begitu pula sebaliknya, bagi orang-orang yang bukan kelahiran (trah) Gunungkidul, walau mereka tinggal disana, bisa dikatakan mereka ‘terbebas’ dari kemungkinan melakukan bunuh diri. Masyarakat setempat percaya, fenomena bunuh diri di Gunungkidul merupakan suatu peristiwa ‘khas’, yang berkaitan dengan ‘kosmos’ setempat.

Lucunya gini, masyarakat sejatinya begitu menentang dan mengutuk perbuatan macam bunuh diri ini. Bahkan di masa lalu, secara adat sudah ada kesepakatan mengenai sanksi hukuman pada pelakunya bahkan saking laknatnya, ada yang menguburkan dengan sungsang lo, sadis!


Seperti misalnya, memperlakukan mayat pelaku bunuh diri di luar agama dan kepantasan yang berlaku; tanpa dimandikan, dikafani, diselamati, dan sebagainya. Sadis kan? Saking nggak sepakatnya masyarakat setempat terhadap perbuatan keji yang mengakhiri kehidupan diri sendiri. Walau begitu, anehnya kabupaten Gunungkidul dan kasus bunuh diri sudah mempunyai keunikan hubungan yang ‘khas.’

Kamu beneran mau tahu setinggi apa kasus bunuh diri di kabupaten yang memiliki deretan pantai-pantai dengan view luar biasa ini? Dalam enam bulan, sejak Januari hingga Juni 2016 ini, sudah ada 20 kasus bunuh diri di Gunungkidul. Saking mengkhawatirkannya, Pemkab Gunungkidul pun sudah bergerak untuk membentuk satgas anti-bunuh diri.

September 1999, awal media ‘merekam’ kisah bunuh diri warga Dusun Wuluh. Kala itu, bunuh diri yang dilakukan Miyem membuat suasana begitu mencekam


Dusun Wuluh tiba-tiba diselimuti duka. Sabtu Pon, 25 September 1999, warga setempat digemparkan dengan bunuh dirinya Miyem. Padahal, dusun tersebut bertahun-tahun terhitung ‘aman,’ bunuh diri terakhir terjadi pada tahun 1957. Tapi siang itu, menjelang adzan dzuhur, Miyem ditemukan tergantung pada dahan akasia di tegal milik orang tuanya yang terletak di sebelah timur dusun. Tali yang dipakai menggantung ialah selendang merah kesayangannya. Kamu beneran ingin tahu seperti apa kondisinya? Lidahnya terjulur, mulutnya berbusa, mata terbeliak, air kencing dan kotoran ikut keluar, menebarkan bau busuk ke sekelilingnya.

Setelah jenazah dibawa pergi, pohon akasia itu segera ditebang. Rumput ilalang yang tumbuh di sekitarnya pun dibabat dan dibersihkan. Potongan-potongan kayu dan rumput ditumpuk, disiram minyak, kemudian dibakar. Konon, perlakuan tersebut untuk mencegah agar tempat itu tidak menjadi angker, wingit, atau menjadi sarang hantu.

Kasus Miyem kala itu, dan kasus-kasus bunuh diri di Gunungkidul hingga sekarang, disebut-sebut ada hubungannya dengan kehadiran pulung gantung


Menurut kepercayaan masyarakat setempat, wujud pulung gantung seperti bintang berekor yang muncul sekitar maghrib hingga jam sembilan malam. Jika pulung tersebut jatuh di suatu tempat, pemukiman atau pedusunan, biasanya tidak lama lagi disana akan ada orang menggantung.

Memang zaman sudah berubah, namun kamu juga nggak bisa menyalahkan warga yang masih mempercayai fenomena satu ini. Sebab, entah kebetulan atau apa, kalau ada rumah yang terlihat kejatuhan pulung gantung, tidak lama kemudian pasti ada anggota keluarga di rumah tersebut yang melakukan bunuh diri.

“Saya pernah diberitahukan warga, jika melihat cahaya yang dipercaya sebagai pulung gantung jatuh di rumah anak buah saya, dan kebetulan dia meninggalnya juga bunuh diri,” kata Dukuh Kayubimo, Desa Kemadang, Kecamatan Tanjungsari, Sutino, dilansir dari Okezone.

Menurut adat setempat, salah satu cara mengusir pulung gantung ialah dengan membunyikan kentongan atau pecut pada jam-jam pulung tersebut muncul


Berhari-hari sejak kematian Miyem, setiap menjelang maghrib, Dusun Wuluh tiba-tiba menjadi riuh. Upacara ritual itu selalu dimulai dengan anak-anak yang memukul kentongan bersahutan mengelilingi kampung. Selanjutnya, orang-orang yang sudah mahir memainkan pecut akan memainkannya sewaktu malam semakin kelam. Suaranya meletus-letus, mirip bunyi tembakan. Menyeruak kesunyian, menguak kegelapan alam pedusunan. Silahkan kamu bayangkan.

Dua minggu setelah meninggalnya Miyem, tepatnya Sabtu Pahing, 9 Oktober 1999. Warga Dusun Karang terhenyak. Kentongan berbunyi, dari mulut ke mulut mengalir berita, Wongso Sangkan mati menggantung diri di bukit belakang rumahnya. Seketika mereka bertanya, benarkah kematian ini merupakan ‘kelanjutan’ dari pulung gantung yang ‘memangsa’ Miyem dua minggu yang lalu? Padahal kalau dipikir dengan logika, lelaki 80 tahun itu sama sekali tak memiliki masalah dalam hidupnya. Di usia yang senja, dia termasuk orang kaya di desanya, masih kuat dan tangkas. Dia sudah mendirikan rumah, membuka tanah, membuat terasering, menikahkan anak, kenapa harus bunug diri?

Pernah warga menggelar ruwatan desa dengan menggelar pertunjukan wayang, kemudian kondisi psikologis warga di wilayah desa itu pun berangsur kembali normal


Masih dilansir dari Okezone, menurut Sutino, selain menggelar ruwatan, warga di dusunnya memiliki keyakinan, setiap ada penduduk yang meninggal karena gantung diri, warga langsung menggali tanah tepat dibawah jasad korban. Biasanya, warga akan menemukan tiga bongkahan bola tanah basah. Warga percaya, jika bola tanah tersebut tidak diambil, maka akan menular ke warga lainnya.

Sementara itu, ketua Dewan Kebudayaan Gunungkidul, CB Supriyanto mengakui, hampir sebagian masyarakat Gunungkidul, masih mempercayai tentang fenomena pulung gantung. Sebab, masyarakat melihat, fenomena ini sebagai kenyataan dan bukan sekadar mitos.

Fenomena bunuh diri di Gunungkidul bukanlah sebatas faktor ekonomi. Pasalnya, pernah ada korban pulung gantung yang bertitel professor. Karena itulah, faktor mahluk halus yang dikenal sebagai pulung gantung menjadi salah satu pemicu. Meski siapapun jelas sepakat, dalam agama maupun sains hal ini begitu sulit untuk dijelaskan.

Kasus terakhir bunuh diri atas nama Rakiman Cipto Sudarmo, warga Wonosari Pulutan, pada Senin 13 Juni 2016. Sejauh ini angka bunuh diri tertinggi di Gunungkidul terjadi pada tahun 2012, yang mencapai angka 39 orang. Kemudian jumlah tersebut turun pada 2013 menjadi 29 kasus. Tahun berikutnya, yaitu 2014 kembali turun menjadi 19 kasus dan pada 2015 angka bunuh diri naik kembali menjadi 31 kasus.

“Tindakan bunuh diri di Gunungkidul merupakan tragedi kemanusiaan. Penyebabnya masih menjadi sebuah misteri,” papar I Wayan Suwena, doktor di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada (UGM).

Jadi, gimana? sudah sepakat kalau Gunungkidul tak seindah yang terlihat?

Source hipwee.com (berbagai sumber)

Jumlah 0 komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Selalu Mengikuti Peraturan. Kunjungi http://bit.ly/KomentarWU untuk mengetahui Kebijakan Komentar WowUniknya.net

Artikel Berikutya Next Post
Artikel Sebelumnya Previous Post

Baca Juga